Perjuangan Masuk Perguruan Tinggi Negeri

Memasuki umur kepala dua memang identik dengan atribut-atribut seperti pencarian jati diri, passion, kemandirian, komitmen, tanggung jawab hingga usaha untuk mencari pasangan hidup.

Memikirkan hal-hal seperti ini membuat saya teringat dengan ucapan dari guru saya ketika masih duduk di bangku SMA. Saat itu merupakan hari menjelang kelulusan bagi semua anak kelas tiga termasuk saya sendiri.

“Kalian ingin menjadi apa sepuluh tahun kedepan?”

Saat itu, saya tidak menganggap serius pertanyaan ini, toh 10 tahun adalah waktu yang lama. Saya bisa merencanakan dan melakukan banyak hal dalam kurun waktu itu. Namun, 4 tahun sudah berlalu, dan tanda-tanda akan menjadi “apa” belum terlihat sedikitpun. Buruknya lagi, hal ini mulai sedikit menakutkan.

Apa seperti ini yang dirasakan semua anak muda yang mulai beranjak dewasa? The fear of being “nothing” in the future? or for the worst, “losers”?

Terlepas dari semua atribut itu, saya ingat satu momen yang benar-benar berarti dalam hidup saya. Momen ketika saya harus berjuang mati-matian demi bisa kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN). Karena saat itu, saya sadar jika PTN adalah satu-satunya cara buat saya untuk mencicipi dunia perkuliahan. Saya butuh 3 kali percobaan untuk bisa tembus PTN dimana 2 diantaranya adalah kegagalan yang benar-benar menyakitkan. Dan proses itu membutuhkan 3 tahun lamanya hanya untuk 1 kursi di Perguruan Tinggi Negeri.

Di tahun pertama setelah lulus SMA dan gagal dalam SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang pertama, saya harus merelakan diri menyandang status “pengangguran”. Sungguh, ini adalah status yang sangat menyiksa batin. Status yang membuat orang-orang yang kamu temui setiap harinya memalingkan wajahnya dan enggan untuk menghabiskan waktunya denganmu. Status yang membuat dirimu benar-benar dikucilkan dari lingkungan. Status yang membuat dirimu merasa jadi orang paling tidak berguna di dunia. Untungnya, saya masih punya orang-orang terdekat yang setia mendukung dan menyemangati, khususnya mama saya.

Tiba hari dimana pengumuman SBMPTN yang kedua, dan lagi, saya harus menelan pil pahit karena dinyatakan gagal.

Saat itu, saya merasa benar-benar kecewa. Setelah waktu, uang, dan tenaga yang saya korbankan, ternyata belum mampu membuat saya layak untuk diterima. Padahal saya merasa jika usaha yang saya berikan sudah benar-benar maksimal.

Sial, Apa cukup sampai disini saja? 

Dititik ini, saya tidak tau harus berbuat apa. Keinginan untuk mendapatkan 1 kursi di PTN perlahan-lahan mulai pudar. Tiba tahun ketiga dimana saya harus melepaskan status pengangguran dan memberikan kesempatan untuk status pegawai kantoran melekat pada diri saya.

Rutinitas yang sama, kerjaan yang monoton, dan gaji di akhir bulan adalah hal yang identik dengan kehidupan saya sepanjang tahun. Namun, dibalik perasaan senang akan gaji dan bonus di akhir bulan, dan dibalik kejenuhan akan rutinitas yang monoton tiap harinya, terbesit keinginan yang mendalam untuk mencicipi dunia perkuliahan.

Masih ada satu kesempatan lagi, tidak ada salahnya untuk mencoba? 

Karena pagi hingga sore hari saya harus bekerja, maka malam hari saya manfaatkan untuk belajar materi SBMPTN. Kegiatan ini saya lakukan terus-menerus sepanjang tahun hingga tiba hari dimana ujian yang ketiga buat saya akan dilaksanakan.

Sebulan setelah itu, pengumuman hasil seleksi SBMPTN kembali akan diumumkan. Hari itu, saya benar-benar pasrah dengan hasil yang akan diumumkan. Dalam pikiran saya, setidaknya saya sudah berusaha, biarkan Tuhan yang kerjakan sisanya. Kalaupun saya kembali gagal, toh saya masih punya pegangan, yaitu pekerjaan saya.

Namun, nasib berkata lain. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merasa seperti seorang “Pemenang” karena saya berhasil dan dinyatakan berhak untuk mendapatkan 1 kursi di Perguruan Tinggi Negeri.

Sungguh, momen itu tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Saya tidak bisa menahan air mata yang dengan sendirinya membasahi wajah saya.

Dua bulan setelah itu, saya memutuskan untuk resign dari tempat kerja dan pada hari yang sama, saya memakai alma mater kebanggaan untuk mengikuti upacara pengukuhan sebagai seseorang yang berstastus “mahasiswa”.

***

Pengalaman saya ini mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pengalaman yang dimiliki orang lain. Tapi setidaknya, pengalaman ini benar-benar membantu membangun karakter dan perspektif saya tentang bagaimana menyikapi setiap masalah yang tidak pernah ada habisnya menyerang kita.

Tidak ada hal yang lebih menyenangkan daripada berhasil mencapai tujuan dan mimpi yang benar-benar kita idamkan.

Ada pepatah yang mengatakan jika usaha tidak akan pernah menghianati hasil. Dan pepatah ini telah terbukti dalam kehidupan saya dan akan terus meyakininya hingga tidak ada lagi mimpi yang tersisa untuk saya kejar.

Thank you for reading my story, I really appreciate that!

48 comments

      1. Iya, susah kak. Itu aja sempat kerja kantoran karena ortu ada koneksi dengan org di tempat saya kerja dulu.
        wah privat ya? saya juga sambil kuliah ngajar privat kak. mungkin bisa berbagi ilmunya kak? hehehe

        Like

  1. Wah jaw drop sama usahanya, mungkin ini tepukan kesekian untuk menginspirasi orang2 yg males bangkit lagi pas udah ditolak sbm.
    Tapi, kalau perkaranya diterima di snm di jurusan yg kita pengen dan sayangnya gak direstuin orang tua, gimana tuh? Heheh.

    Liked by 1 person

    1. Keterlibatan orang tua memang jadi masalah klasik sih. Untuk kasus seperti itu saya kurang tau mesti bersikap bagaimana. Karena setiap orang punya pendapat yang berbeda. Ada ortu yg bisa ngerti, ada pula yang tidak.
      Tapi menurut saya, selama kita suka dan serius dengan pilihan yang kita ambil, orang tua seharunya bisa mendukung keputusan itu.

      Like

      1. Harapannya emang kayak gitu, pertahanin kehendak dengan harapan orang tua bakal ngedukung di akhir. Tapi, kalau udah dikasih rasa was-was di awal, karena orang tua bilang bakal nggak peduli. Ya ujung-ujungnya kita terpaksa ngalah ‘kan?

        (Btw, ini keliatan curhat, ya? Emang pengalaman pribadi, kok. Kkkkk)

        Liked by 1 person

      2. Hmm… emang susah sih kalau kasusnya uda kyk gitu. Mau ga mau ya harus ngalah, apalagi yg biayai mereka. kecuali kalau uda bisa mandiri secara finansial ya mungkin ada cara lain. hehe

        Like

  2. Wah kak Yoris mentalnya sekuat baja :”’)
    Hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha, entah seberapa senangnya hati kak Yoris begitu lolos di percobaan ketiganya, perasaan itu bisa kubayangkan dari tulisannya :’)

    Liked by 1 person

  3. Hebat ….perjuangan anda untuk masuk PTN luar biasa, biasanya orang akan langsung memilih kuliah di swasta bgt tdk diterima di PTN, tp anda sampai 3 x mencobanya dan Selamat ya,smg lancar dan sukses seterusnya

    Liked by 1 person

  4. well, di sat masih 44 menit waktu aku berdoa, aku nemu postingan ini. keren perjuangan kakak nggak ada matinya. di balik gunung masih ada gunung yang lebih tinggi tapi, kak ehhe

    Liked by 1 person

  5. Wah saya juga pernah ngalamin pahitnya gagal masuk PTN,pertama lewat seleksi SNMPTN tahun 2012,terus lewat ujian mandiri di Unsoed.Kegagalan saya cukup wajar mengingat saya yang berlatar dari jurusan IPA harus berhadapan dengan materi IPS tanpa persiapan matangan seperti Ies dan pendalaman materi,saya hanya mengandalkan materi dari contoh soal di internet dan buku kumpulan soal2 SNMPTN.Gagal kuliah hampir membuat saya terpuruk,tapi saya mencoba bersyukur aja lah.Walau tak bisa mencicipi bangku kuliah,Tuhan ngasih pelajaran lain yang juga berharga di dalam kehidupan saya sekarang ini.
    Btw blognya kok gak bisa difollow ya..

    Liked by 1 person

  6. Hay Yoriss ,
    Wah parah sih udah lama banget ga komunikasi . And tonight im scrolling my follower then i findd your acc instagram , click click . And yaah find your blog . Sooooo ..
    Semangat yaaaa buat kuliah dan kerjanyaa . Semoga selalu di beri kemudahan . Amin .

    Liked by 1 person

Leave a comment